Pengembangan Materi: Berpikir Kritis dan Berdemokrasi Pertemuan ke 1
Kompetensi Dasar
1.23. Terbiasa membaca al-Qur’an sebagai pengamalan dengan
meyakini bahwa agama mengajarkan kepada umatnya untuk berpikir kritis dan
bersikap demokratis.
1.24. Bersikap kritis dan demokratis sesuai dengan pesan QS Ali
Imran (3): 190-191 dan 159, serta Hadis terkait.
Indikator
1.1.1 Membaca al-Qur’an sebagai pengamalan dengan meyakini bahwa
agama mengajarkan kepada umatnya untuk berpikir kritis dan bersikap demokratis.
FAKTUAL
Nabi Ibrahim adalah Nabi yang melakukan penjelajahan
intelektual dan spiritual yang panjang, yang mengantarkannya pada konflik
dengan rezim kekuasaan yang ada saat itu (disimbolisasi oleh Namrud). Beliau
memulai dengan mula-mula bersikap skeptis dengan kepercayaan yang hegemonik
masa itu: paganisme. Hal ini mengantarkan beliau pada perlawanan terhadap
struktur kekuasaan yang berorientasi pada penyembahan berhala, menjadikan
beliau ditangkap dan dibakar hidup-hidup hingga terasing ke dunia luar. Ketika
anak kedua beliau, Ismail, lahir, panggilan spiritual menjadikan beliau harus
mengasingkan Ismail yang baru lahir dan ibunda Siti Hajar ke Mekkah. Lahirlah
tradisi Haji dan Qurban yang tiap tahun kita rayakan.
Saya ingin memulai dengan cerita Nabi Ibrahim dalam
membangun ‘nalar kritis’. Nabi Ibrahim membangun epistemologi Tauhidnya atau
yang akan saya sebut juga di sini sebagai ‘nalar kritis’ melalui sebuah proses
dialektika. Cara Nabi Ibrahim berfilsafat, yang dipotret oleh Al-Qur’an,
mengantarkan beliau pada kesimpulan mengenai Tauhid sebagai identitas. Dan
dengan bangunan epistemologi tersebut, Nabi Ibrahim melakukan kritik pada
praksis sosial serta menjadi pedoman bagi ummat setelahnya. Al-Qur’an memotret
proses dialektika tersebut dalam Surah Al-An’am: 75-80:
وَكَذَٰلِكَ
نُرِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ مَلَكُوتَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلِيَكُونَ مِنَ ٱلۡمُوقِنِينَ
٧٥ فَلَمَّا جَنَّ عَلَيۡهِ ٱلَّيۡلُ رَءَا كَوۡكَبٗاۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّيۖ
فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَآ أُحِبُّ ٱلۡأٓفِلِينَ ٧٦ فَلَمَّا رَءَا ٱلۡقَمَرَ
بَازِغٗا قَالَ هَٰذَا رَبِّيۖ فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمۡ يَهۡدِنِي
رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلضَّآلِّينَ ٧٧ فَلَمَّا رَءَا ٱلشَّمۡسَ
بَازِغَةٗ قَالَ هَٰذَا رَبِّي هَٰذَآ أَكۡبَرُۖ فَلَمَّآ أَفَلَتۡ قَالَ
يَٰقَوۡمِ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ ٧٨ إِنِّي وَجَّهۡتُ وَجۡهِيَ
لِلَّذِي فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ حَنِيفٗاۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
٧٩ وَحَآجَّهُۥ قَوۡمُهُۥۚ قَالَ أَتُحَٰٓجُّوٓنِّي فِي ٱللَّهِ وَقَدۡ هَدَىٰنِۚ
وَلَآ أَخَافُ مَا تُشۡرِكُونَ بِهِۦٓ إِلَّآ أَن يَشَآءَ رَبِّي شَيۡٔٗاۚ
وَسِعَ رَبِّي كُلَّ شَيۡءٍ عِلۡمًاۚ أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ ٨٠
Terjemah:
75. Dan
demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang
terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk
orang yang yakin
76. Ketika
malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah
Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya
tidak suka kepada yang tenggelam"
77. Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku".
Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku
tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat"
78. Kemudian
tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang
lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan
79. Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan
80. Dan
dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantah
tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk
kepadaku". Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan
yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki
sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu.
Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)?
Wajar jika Ibrahim kemudian menjadi Bapak Para Nabi. Landasan tauhid diperoleh tidak secara doktriner, melainkan filosofis dan melalui cara berpikir yang jujur. Ada dua jalan kritik epistemologi yang dilakukan Ibrahim. Pertama, kritik atas cara berpikir masyarakat yang memandang tuhan pada basis material. Nabi Ibrahim melakukan penelusuran pada cara berpikir tersebut dengan melihat keadaan alam.
Pada waktu itu, simbolisasi tuhan melalui apa yang ada di
alam menjadi cara berpikir common sense pada umat beliau. Beliau
menelusuri Bulan, Bintang, dan Matahari dan mencoba mengidentifikasikannya
sebagai tuhan. Akan tetapi, semuanya terbit dan tenggelam, tak mencerminkan
sifat-sifat ketuhanan yang seharusnya menjadi pengayom. Pada titik inilah ia
bertemu dengan Tauhid yang immaterial, tidak bersekutu pada apapun yang tampak,
dan dengan demikian pasrah padanya.
Kedua, setelah Ibrahim mendekonstruksi cara berpikir
mengenai tuhan, ia melakukan kritik atas praksis keberagaman kaumnya yang
memberhalakan simbol sebagai Tuhan. “Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu.
Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?“, kata Ibrahim. Secara revolusioner,
praksisnya dapat kita lihat dalam sirah. Nabi Ibrahim memenggal patung-patung
berhala tersebut dan menisbatkan kapaknya pada patung terbesar. Ketika itu,
Nabi Ibrahim “membunuh” tuhan-tuhan material. Jauh sebelum Nietzsche, Ibrahim
telah mendeklarasikan: “tuhan” telah mati!
Dan tentu saja, Ibrahim harus menghadapi kekuasaan yang
menindasnya. Al-Qur’an Surah Al-Anbiya: 51-70 telah menjelaskannya secara
gamblang. Sikap anti-intelektual yang ditopang oleh kekuasaan menyebabkan
Ibrahim harus dibakar hidup-hidup. Dan lagi-lagi kepasrahannya pada Tauhid
menyelamatkannya. Nabi Ibrahim telah melakukan revolusi ruh atas materi.
“Agama” yang menjadi selubung ideologis dari kekuasaan harus dibongkar. Ini
yang menjadi dasar Ibrahim melakukan kritik.
Kritik Ibrahim tersebut tentu bukan kritik yang nihilistik,
mendekonstruksi semua tanpa menghasilkan apa-apa. Kritik Ibrahim disandarkan
pada kebenaran Tauhid. “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim
hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui
(keadaan) nya” (Al-Anbiya: 51). Artinya, Tauhid menjadi landasan sentral dari
seluruh aktivitas keberagamaan dalam Islam.
1.1.1 Membaca
al-Qur’an sebagai pengamalan dengan meyakini bahwa agama mengajarkan kepada
umatnya untuk berpikir kritis dan bersikap demokratis.
KONSEPTUAL
1. Q.S.
Ali Imran/3: 190-191
إِنَّ
فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ
لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠ ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا
وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ
رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ١٩١
Terjemah:
190. Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
191. (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
فَبِمَا
رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ
مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ
فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
١٥٩
Terjemah:
159. Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
PROSEDURAL
2.1.1 Menjelaskan
makna bersikap kritis dan demokratis sesuai dengan pesan Q.S. Ali Imran/3:
190-191 dan 159, serta Hadis terkait.
1. Perilaku
jujur
Dari
pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa jujur adalah suatu sikap yang lurus
hati, menyatakan yang sebenar – benarnya, tidak berbohong, atau mengatakan hal-hal
yang menyalahi apa yang terjadi/fakta. Kata bohong menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, dusta.
2. Disiplin
adalah
rasa ketaatan dan kepatuhan terhadap nilai- nilai yang dipercaya dan menjadi
tanggung jawabnya. Dengan kata lain, disiplin adalah rasa kepatuhan terhadap
aturan atau pengawasan dan pengendalian. Disiplin adalah upaya untuk
memberikan suatu objek rasa nilai atau obsesi untuk menaati aturan.
Setiap
orang belum tentu memiliki kedisiplinan, bahkan pada dirinya sendiri. Pada
dasarnya disiplin adalah sikap yang baik, namun belum tentu setiap orang bisa
memiliki sikap disiplin, seperti disiplin waktu, disiplin ilmu dan sebagainya.
Dalam praktiknya sikap disiplin dibutuhkan di setiap aktivitas kita, mulai dari
sekolah, masyarakat, pekerjaan, bahkan diri kita sendiri.
3. Bertanggung
jawab
Tanggung
jawab adalah melakukan semua tugas dan kewajibannya dengan sungguh-sungguh.
Tanggung jawab juga berarti siap menanggung segala risiko atas perbuatan sendiri.
Ciri-ciri
tanggung jawab adalah sebagai berikut:
a.
Bersungguh-sungguh
dalam segala hal.
b.
Berusaha
melakukan yang terbaik.
c.
Disiplin.
d.
Dapat dipercaya.
e.
Taat aturan.
f.
Jujur dalam
bertindak.
g.
Berani
menanggung risiko.
h.
Rela berkorban.
Sedangkan
bentuk tanggung jawab adalah sebagai berikut:
a.
Tanggung jawab
kepada Tuhan.
b.
Tanggung jawab
kepada diri sendiri.
c.
Tanggung jawab
kepada keluarga.
d.
Tanggung jawab
kepada masyarakat.
e.
Tanggung jawab
kepada bangsa dan negara.
4. Peduli
(gotong royong, kerja sama, toleran, damai)
Peduli
adalah sebuah nilai dasar dan sikap memperhatikan dan bertindak proaktif
terhadap kondisi atau keadaan di sekitar. Lebih luasnya peduli merupakan sikap
keberpihakan diri seseorang terhadap persoalan atau masalah yang ada di
lingkungan sekitar. Sikap peduli ini dapat berupa:
a. Gotong
royong
Gotong
royong adalah salah satu ciri khas yang masih melekat dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Secara garis besar, gotong royong tertuang pada pancasila
dalam sila ke tiga yang berbunyi Persatuan Indonesia.
Gotong royong telah mendarah daging dan bahkan menjadi kepribadian bangsa, serta sebagai budaya yang sudah berakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat yang hampir semua daerah di Indonesia menanamkan nilai gotong royong. Gotong royong berasal dari kata gotong berarti bekerja dan royong berarti bersama.
b. Kerjasama
Kamus
Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kerja sama sebagai kegiatan atau usaha
yang dilakukan oleh beberapa orang (lembaga, pemerintah, dan sebagainya) untuk
mencapai tujuan bersama.
Tujuan
kerja sama adalah:
1.
Melatih berpikir
kritis dalam menyelesaikan masalah.
2.
Mengembangkan
kemampuan bersosialisasi dan berkomunikasi.
3.
Menumbuhkan rasa
percaya diri.
4.
Saling memahami
individu dalam kelompok.
c. Toleran
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia toleran adalah bersifat atau bersikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri.
d. Damai
Damai
adalah ketiadaan konflik baik konflik internal (di dalam diri, konflik batin)
maupun konflik eksternal (diri dengan yang di luar diri). Konflik ini muncul
karena ada pikiran, ucapan maupun tindakan yang tidak selaras dengan hukum alam
semesta. Ketidakmampuan menyelaraskan dengan hukum alam semesta membuat
kesenjangan antara keinginan dan kenyataan. Di sinilah ketidakdamaian muncul,
konflik batin terjadi dan tidak jarang pula membesar menjadi konflik eksternal.
5. Santun
Santun
menurut kamus Bahasa Indonesia adalah halus dan baik (budi bahasanya, tingkah
lakunya), sabar dan tenang, sopan, penuh rasa belas kasihan, dan suka menolong.
6. Responsif
Singkatnya
responsivitas merupakan bentuk tanggapan dan kerelaan untuk memberikan
pertolongan dalam bentuk berupa pelayanan. Contoh dari sikap responsif sangat
banyak, seperti menjaga perilaku dan berbicara yang baik kepada orang lain.
Dalam
Kamu Besar Bahasa Indonesia yaitu KBBI, yang merupakan acuan dasar dari kosa
kata, responsif berarti menanggapi secara cepat, membalas, atau tergugah
hatinya.
7. Proaktif
Proaktif adalah sebuah sikap seorang individu yang secara aktif dapat mengambil tindakan tegas dan melakukan berbagai cara agar mencapai tujuan yang diinginkannya. Secara umum, perilaku proaktif ini dapat berarti sebuah tindakan individu yang secara aktif mampu untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Post a Comment for "Pengembangan Materi: Berpikir Kritis dan Berdemokrasi Pertemuan ke 1"